Panasnya terik mentari dan tebaran debu oleh kendaraan beroda dua dan empat di Jalan ABD.DG.Sirua tidak menyurutkan langkahku. Aku semakin mempercepat langkah dan setengah berlari berbelok kearah Jalan Batua Raya dan berhenti di depan sebuah masjid dan menyeberang kearah masjid dan masuk ke dalam lorong di samping masjid. Aku mencari rumah Pak Soleh guru Agamaku sewaktu aku masih SMP. Rasanya tak sabar ingin bertemu dengan beliau melepaskan rindu seorang murid kepada gurunya dan mendengarkan kembali nasehat-nasehatnya kepadaku yang begitu sejuk ditelingaku.
Aku begitu terkesima menyaksikan apa yang kulihat,
rumah yang begitu sederhana sejak dua tahun lalu hinnga saat ini tidak ada perubahan sedikit pun. Terbesit dikepalaku mungkinkah penghuninya pun masih seperti yang dulu, begitu bersahaja, ramah, dan sangat menghargai orang lain.
Belum selesai aku berfikir, tiba-tiba pintu rumah itu dibuka oleh seorang lelaki yang tua dengan perawakan yang bercahaya mengenakan baju koko berwarna putih dan memakai sarung serta kopiah menghias kepalanya. Aku sangat kenal dengan orang itu, dialah Pak Soleh guru agamaku sewaktuku SMP dulu.
Tanpa berfikir panjang aku langsung menghampirinya “Assalamu Alaikum Pak” sapaku.
Pak Soleh menoleh kepadaku dan menjawab dengan logat Makassar yang sangat kental ditelingaku “Waalaikung Salang Warahmatullahi Wabarakatu, ada yang bisa bapak bantu nak?” sepertinya Pak Soleh tidak mengenaliku lagi.
“Bapak sudah lupa, saya Risna anak wali Bapak waktu SMP,” jawabku.
Sambil tersenyum Pak Soleh menjawab “Oh, iya Bapak sudah ingat. Bagaimana kabarmu, ayah, dan adikmu nak?”
“Mereka baik Pak”, jawabku kembali.
Aku sangat senang karena Pak Soleh tidak melupakan aku. Belum sempat aku melanjutkan jawabanku, tiba-tiba seorang perempuan tua keluar dari dalam rumah. Aku ingat betul siapa dia, dia itu Bu Soleh orang yang ku anggap sebagai Ibuku sendiri. Aku langsung menyapanya “Assalamu Alaikum Bu, saya Risna, Ibu masih ingat kan?” dengan percaya diri ku perkenalkan diriku dan mencium tangannya.
Bu Soleh memelukku dan berbisik “Bagaimana kabarmu nak? Sudah lama tidak ke sini”. Belum sempat aku menjawab, Pak Soleh meminta izin kepada kami untuk pergi ke masjid dekat rumahnya. Bu Soleh mempersilahkan aku masuk ke dalam rumah. Ruang tamu itu pun tidak ada perubahan sama seperti yang dulu.
Waktu aku masih SMP kelas 3, Pak Soleh adalah guru Agamaku sekaligus wali kelasku. Beliau sangat memperhatikan kami sebagai anak walinya. Aku termasuk anak yang cukup cerdas di kelas, tulisanku pun termasuk rapi. Sampai aku diangkat sebagai sekertaris di kelas. Karena itulah aku sering ke rumah beliau dan menjadi dekatlah aku dengan beliau dengan istrinya. Selain itu, Pak Soleh mempunyai seorang anak laki-laki yang tinggal di pesantren. Karena anak Bu Soleh jarang pulang, karena harus tinggal di pesantren, akulah yang dianggap sebagai anak kandungnya. Kebetulan aku juga sudah lama tidak merasakan kasih sayang seorang ibu. Aku hampir lupa bagaimana wajah Ibuku karena sejak aku kelas 4 SD, aku, ayah, dan adikku hijrah ke Makassar meninggalkan ibu sendirian di Desa Langnga Kabupaten Pinrang.
Aku sangat sedih bila mengingat bagaimana hancurnya perasaan ibuku saat kami keluarga kecilnya harus pergi meninggalkannya seorang diri.
Saat itu matahari belum terbit dari Ufuk Timur. Hari pun masih sangat gelap. Ayah membangunkan ku saat aku masih tertidur lelap. Setengah sadar, ku lihat Ayah menggendong adikku dan menenteng tas mengajakku pergi. Sebagai seorang anak yang masih sangat kecil, aku mengikuti saja keinginan Ayahku tanpa harus protes padanya.
Setelah tiba di tempat yang belum pernah ku lihat sebelumnya, Ayah mengajakku masuk dan memberitahukanku bahwa ini rumah almarhum orang tua ayah. Kita akan tinggal di sini. Kala itu aku sempat bertanya pada Ayah “mengapa Ibu tidak ikut bersama kita, Yah?”
Dengan raut wajah yang sedih Ayah menjawab “Ayah sangat sayang pada kalian, hanya kalian harta Ayah di dunia ini, Ayah harap sebagai anak tertua kau mau mengerti,” Ayah lalu tertunduk dan ku lihat ia meneteskan air mata. Sejak saat itu, aku tidak pernah berani bertanya tentang Ibu pada Ayah, aku sangat sayang pada Ayah ku, aku tidak ingin melihatnya sedih. Walaupun aku sangat merindukan Ibu.
Setelah aku kelas 5 SD aku terbentuk menjadi anak yang lebih dewasa dari usiaku. Aku harus mengurus adikku yang masih sangat kecil, menemaninya bermain, menyuapinya makan, dan masih banyak lagi. Belum lagi aku harus belajar agar juara kelas ku tetap ku pertahankan.
Hari-hariku ku lewati tanpa ada penyesalan dihatiku. Aku ikhlas menjalani hidupku. Aku tau, ini adalah takdir Ilahi Robbi yang harus ku jalani. Aku harus menjadi anak yang berbakti.
Saat aku SMP kelas 3, tejadilah perubahan pada hidupku. Aku bertemu dengan keluarga yang menyayangiku dengan kasih sayang yang begitu ikhlas. Itulah keluarga wali kelas ku, keluarga Pak Soleh.
Bu Soleh sudah mengetahui kondisi keluargaku. Hampir setiap hari setelah pulang sekolah aku selalu ke rumah Pak Soleh. Aku selalu pergi bersama adikku. Bu Soleh sangat sayang pada kami. Sehingga kami menganggapnya sebagai Ibu kami. Apalagi adikku yang sejak umur 1 tahun tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ibu. Hubungan ku dengan Pak Soleh berlanjut terus sampai aku kelas 3 SMA.
Setelah aku pulang ke rumah, Ayah memanggilku dan berkata “Risna, Ayah tahu dan kamu juga pasti ingin tahu mengapa kita harus meninggalkan Ibu sendiri di kampung, kan?” aku tidak menjawab pertanyaan Ayah, aku hanya terduduk diam di kursi tamu dan menunduk.
Lalu Ayah melanjutkan ceritanya “Ayah menganggap kamu sudah cukup dewasa dan sudah waktunya Ayah harus menceritakan hal ini padamu. Ayah baru tahu setelah sepekan sebelum kita meninggalkan ibumu di Pinrang, bahwa Ibumu mempunyai penyakit keturunan dari orang tuanya dahulu. Penyakit Ibumu sangat tidak lazim bagi manusia biasa. Setiap malam bulan purnama, Ibumu akan berubah wujudnya. Dia akan terbang ke atas rakeang (tempat menyimpan padi di atas rumah panggung) lalu menyimpan isi perutnya di sana dan ibumu akan berubah wujud menjadi keriput dan pucat dengan mata berwarna merah menyala, rambutnya panjang terurai, giginya bertaring, dan saat terjadi perubahan itu, ia akan mengeluarkan suara “poooo’ poooo’ poooo’,” semakin jauh suara itu akan jelas terdengar. Ibumu akan kembali saat fajar menjelang setelah ia menghisap darah seseorang. Setiap hari, Ibumu akan mengintai mangsanya. Ia akan mengetahui siapa saja orang yang akan melahirkan, orang yang sakit, dan wanita yang sedang haid. Orang yang dihisap darahnya akan membekas sekujur tubuhnya dan ada tanda memar berwarna biru. Ayah tidak ingin penyakit yang diderita Ibumu menular pada kalian. Untuk menghindari itulah Ayah membawa mu pergi jauh dari Ibumu. Ayah masih sayang pada Ibumu, Tetapi, Ayah lebih menyayangi kalian.”
Akupun terdiam sejenak, lalu ku peluk Ayah dan menangis dipundaknya dan berkata “aku sangat menyayangi mu, maafkan aku Ayah.”
Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi ke rumah Bu Soleh. Aku tidak ingin orang tau tentang keluargaku, apalagi tentang Ibu ku. Terakhir kali aku ke rumahnya, Bu Soleh memberi pesan kepadaku “Kapan pun kau butuhkan seorang ibu atau seorang teman, kamu bisa datang pada Ibu, ingat itu Risna!” katanya dengan suara lirih “pintu rumah kami selalu terbuka untukmu”
Setelah aku menjadi seorang Mahasiswi Kedokteran di salah satu Universitas ternama di Makassar. Aku mulai merasakan ada perubahan pada kondisi fisikku. Kulitku berubah menjadi putih bersih, tubuhku menjadi sekal, bibirku menjadi merah merekah, mataku semakin indah bersinar saat ku pandangi di layar kaca.
Melihat perubahan padaku, Ayah pun menjadi cemas. Ia selalu membimbingku dan membantuku agar selalu mengingat sang Pencipta. Dan melaksanakan kewajibanku yaitu melakukan shalat lima waktu dan membaca ayat suci Al-Qur’an.
Apa hendak di kata, hal yang kami takutkan pun terjadi. Pada malam bulan purnama, tepatnya jam 12 malam saat aku tertidur lelap. Tanpa ku sadari tubuhku melayang naik ke plafon. Dan mengeluarkan isi perutku persis seperti apa yang telah terjadi pada Ibuku. Seketika itu pula wajahku menjadi keriput dan tua, mataku menjadi merah menyala, dan rambut panjangku tergerai ke bawah menjadi agak kusut. Lalu aku terbang melalui fentilasi rumahku. Sekitar pukul 04.30 terdengar bunyi Salawat di masjid dari kejauhan aku membersihkan badanku di got depan rumahku lalu masuk kembali ke atap rumah melalui fentilasi rumahku.
Kejadian malam purnama itulah yang membawaku kembali ke rumah Pak Soleh. Aku tahu keluarga ini pasti bisa membantuku keluar dari penyakit keturunan ini.
Di ruang tamu rumah Pak Soleh, aku menangis menceritakan semuanya kepada Bu Soleh. Ia mendekapku erat serasa ingin melindungiku dari apapun yang ada. Saat itu Pak Soleh muncul bersama seorang laki-laki dan mengucapkan salam secara bersamaan. Betapa terkejutnya mereka melihat Bu Soleh memelukku sambil meneteskan air mata. Pak Soleh langsung duduk di salah satu kursi yang ada di ruang itu begitu pula dengan anak lelaki itu. Dengan suara bersamaan, mereka bertanya “ada apa, Bu? Apa yang terjadi?”. Bu Soleh berbisik kepadaku “kita harus menceritakan semuanya pada Bapak dan Dzakiy, Dzakiy anak kami yang dulu tinggal di pesantren, dia pun mungkin bisa membantu.”
Dzakiy tahu menetralkan suasana. Dia menyapaku dan kami pun berkenalan tanpa harus berjabat tangan. Dzakiy ternyata seniorku di kampus, ia juga seorang asisten Farmakologi, ketua HMI kampus (penyuluh keagamaan sesama siswa di kampus).
Singkat cerita selama dua bulan aku mendapat bimbingan dari keluarga Pak Soleh. Aku diizinkan oleh Ayah untuk tinggal di sana dalam proses penyembuhan diriku. Aku pun semakin dekat dengan k’Dzakiy.
Pada malam jum’at tepat saat bulan purnama, pukul 11.15, aku dan keluarga Pak Soleh pergi ke masjid di dekat rumah dengan kondisi telah berwudu’. Setibanya kami di masjid kami langsung melaksanakan sholat sunnuah tahiyat masjid. Lalu kami mengaji hingga pukul 11.45. Setelah itu kami shalat tahajut berjamaah dan mengaji lagi hingga menjelang subuh. Setelah shalat kami berdo’a. Dan Alhamdulillah tubuhku tidak berubah menjadi poppo’.
Sejak saat itulah aku tidak pernah lagi berubah menjadi poppo, karena tiap malam aku tidak lupa shalat tahajud di rumahku.
Tak terasa dua tahun silam k’Dzakiy menjadi dokter dan kini giliranku untuk mengikuti penyumpahan dokter. Keluarga Pak Soleh membantu ku di rumah karena kami akan mengadakan syukuran. Setelah penyumpahan dokter, aku bergegas pulang. Setibanya aku di rumah, ternyata k’Dzakiy juga ada di rumahku . aku terkejut begitu ku dengar bahwa k’Dzakiy melamarku. Sekarang aku sudah menjadi istri dr. Dzakiy dan telah dikaruniakan dua orang anak. Kami pun hidup bahagia.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar